Sei
Puar, my village is beautifull
By: Rudisa Putra
1.Sejarah
Sungai Puar
adalah sebuah korong dalam Kenagarian Koto Dalam, Kecamatan Padang Sago. Adapun
nama lengkapnya yaitu Korong Sungai Puar/Tanjung Mutus. Nama itu serupa dengan
nama sebuah Kecamatan yang ada di Bukittinggi yaitu Sungaipua. Ia merupakan
kecamatan yang cukup maju di Bukittinggi maka tidak heran orang lebih mengenal
nama itu daripada nama Sungai Puar, kampungku.
Konon
kabarnya, nama itu diambil dari sebuah batang pohon yang hidup didekat sungai,
nama batang pohon itu “pua”.
Ia membentang
dari utara ke selatan yang terdiri dari kampung-kampung kecil. Paling ujung sebelah
utara bernama kampuang Aia Munti-Bukit Lano terus berlanjut ke selatan dengan nama
Lohong, Kampung Subarang, Joghok-Koto Gadang, Kampung Cubadak, dan terakhir
Sungai Lau.
2.keadaaan
alam
Di kampungku
banyak sawah yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan dibalik bukit terdapat
ladang/kebun. Selain itu terdapat sungai yang terletak antara laga-laga dan
mesjid Raya. Sungai digunakan untuk
tempat mandi, mencuci, dan memancing. Di sungai banyak ikannya, biasanya ikan
diambil sekali 2 tahun dengan cara menjala dan memancing. Sungai juga dijadikan arena untuk belajar
berenang oleh anak-anak. Mereka merasa senang berlama-lama di sungai karena
bagi mereka sungai merupakan tempat bermain yang asyik.
3.mata
pancarian
Umumnya
masyarakat Sei Puar petani, disamping ada juga yang pandai bertukang seperti
tukang kayu, tukang bangunan, dan tukang jahit. Namun , sekarang ini tidak ada
yang membuka jasa tukang jahit, tetapi tukang kayu ada meskipun satu.
Bagi
perempuan yang tidak bisa melanjutkan sekolah, kebanyakkan membordir di
rumahnya. Adapun pemuda yang putus sekolah, banyak yang merantau dan sedikit sekali
yang ada di kampung sehingga ladang yang tadinya dijadikan tempat penghasilan
akhirnya menjadi semak belukar. Bagi pemuda yang bertahan di kampung bekerja
sebagai buruh tani dan buruh lainnya.
4.fasilitas
Di bagian
utara terdapat satu buah puskesmas
yang dalam pembangunan, satu buah
sekolah SMP dan satu buah mesjid nagari. Di tengah terdapat laga-laga yang
berfungsi untuk rapat dan baralek nagari. Di setiap sudutnya terdapat lapau
atau kantin yang biasa digunakan untuk sarapan pagi, sedangkan siang dan malam
digunakan untuk tempat nongkrong, untuk perempuan sendiri biasanya sarapan di
rumah, disamping ada juga yang menempatkan diri ke lapau, itu pun ada keperluan
mendadak. Fasilitas lainnya yaitu masing-masing kelompok suku memiliki surau
tersendiri. Surau yang ada biasanya hanya dihuni pada hari-hari besar islam
atau rapat dalam menyambut hari besar tersebut. Kalaupun ada, hanya satu surau yang terbuka setiap minggunya dalam
pengajian mingguan, sedangkan mesjid untuk sekarang ini digunakan sebagai sarana mengaji anak-anak padahal sebelumnya
tidak ada, karena mushala yang ada belum juga diperbaiki sampai sekarang ini.
Shalat jamaah kemesjid setiap hari seperti di kota tidak ada, biasanya mesjid
hanya dibuka setiap jumat kecuali untuk mengaji anak-anak. Setiap maghrib
anak-anak TPA shalat jamaah di mesjid, jamaahnya anak TPA dan gurunya, tidak
lebih dari itu setiap harinya.
5.Suku-suku
yang ada di Sei Puar
Di dalam
kampungku dihuni oleh suku yang berbeda-beda, seperti suku tanjung, jambak, dan
koto. Suku tanjung dan jambak banyak
berdomisili di bagian tengah dan selatan, sedangkan suku koto di bagian
utara. Suku tanjung ada dua yaitu pertama merupakan cabang dari kuduak biawak
(Bukittingggi), kedua adalah cabang dari Kampung Tanjung-Kudu (Padang Pariaman),
sedangkan suku Jambak adalah pendatang dari Sungai Kalu-Kudu (Padang Pariaman)
yang diminta oleh orang dari suku tanjung Kuduak Biawak
untuk membantunya dalam melawan keserakahan suku koto.
Ketika itu,
orang tanjung mengungsi ke Sawah Liek karena tidak berdaya menghadapi orang
koto yang terkenal kuat di masa itu. Maka atas permintaan orang tanjung, buyut
saya yang terkenal sakti, Mak Jembang, menantang kesaktian orang koto, dan
tidak ada satupun orang koto yang dapat mengalahkannya. Akibatnya, tidak ada
lagi yang berkuasa di Sei Puar. Selanjutnya, beliau menjemput orang tanjung ke
Sawah Liek, lalu membagi daerah Sungai Puar menjadi dua bagian yaitu sebelah
batang air-mudik dihuni oleh orang koto dan dari batang air-hilir dihuni oleh
orang tanjung. Sebagai imbalannya, beliau dihadiahi beberapa bidang tanah oleh
kepala kaum dari suku tanjung. Tanah itulah yang kami tempati sampai sekarang
ini.(wawancara dengan Mak Etek Simar di Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar